Pernikahan dini, seperti itulah orang menyebutnya. Teringat jaman sewaktu sinetron ini booming ya. Ada juga sinetron dengan judul "Kecil-Kecil Jadi Manten", hihi tahun berapa kedua sinetron ini dulu diputar ya? -jadi kuis-
Begitulah, aku dan suami memang menikah di usia muda. Saat itu usiaku baru 19 tahun dan suami belum genap 20 tahun. Meski awalnya kedua orang tua sama-sama tidak setuju, pada akhirnya mereka pun merestui. Alasan utamanya adalah kami berdua sama-sama jauh dari orang tua, merantau ke kota Angin Mamiri untuk kuliah lalu bekerja. Dipaksa untuk hidup mandiri, dan untuk bisa memutuskan ataupun memilih banyak hal sendiri. Mengingat tidak adanya Waskat alias Pengawasan Melekat dari orang tua, kami sadar diri. Lebih baik menikah dini untuk lebih berhati-hati.
Namanya juga pernikahan anak ingusan, sama-sama anak mami, tentu saja tidaklah mudah. Apalagi dengan bekal ilmu agama yang minimalis, benar-benar kami harus berjuang. Tapi Allah SWT Maha Tahu, kami digodog lagi melalui proses LDL selama hampir 2 tahun, antara Majene, Sulbar dan Luwuk, Sulteng. Ketika kami akhirnya bisa berkumpul kembali, kami sudah lebih siap untuk berumah tangga. Di usia 22 tahun alhamdulillah aku melahirkan Syifa dan hidup kami menjadi lebih bermakna, berwarna.
Tetap saja, sebagai pasangan muda dengan "darah muda"nya, dengan ego setinggi langitnya, pertengkaran, debat, salah paham masih selalu menghiasi. Apalagi sifatku yang sensitif, mudah marah, dan belum bisa menahan lidah ini, huff amat sangat merepotkan. Pernah suatu ketika, ada perselisihan kecil dan tak sengaja aku menyebut-nyebut tentang ibu mertua. Suami langsung naik pitam, tersinggung berat, mukanya menjadi sedingin es. Takuuut deh melihatnya. Duh, menyesal tiada guna, kata-kata itu sudah terucap. Berhari-hari aku tidak diajaknya bicara, dianggapnya aku angin lalu. Saat aku ajak bicara, dia dingin tanpa tanggapan, memandang pun tidak
. Setiap pulang kantor, dia sibuk bermain dengan Syifa, seolah aku tak ada di sana. Aku menyesal, amat sangat menyesal. Aku meminta maaf, tapi sepertinya dia masih belum bisa ikhlas memaafkanku.
Entah sudah hari keberapa -lupa-, akhirnya pada suatu hari dia menggodaku, dia tersenyum dan mengajakku bicara!!! Ya Rabb...rasanya mak ceesss...hatiku adeeem serasa diguyur air surga -lebay-. Mataku langsung basah oleh air mata kelegaan dan bahagia, langsung kutubruk dia dan kupeluk dengan erat sambil tergugu meminta ma'af dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi ocehan kurang ajar seperti kemarin.
Begitulah cara suamiku kalau sudah amat sangat marah, dia akan mendiamkanku. Kalau dengan kata-kata aku masih saja ndableg
, dia pasti akan betah dan kuat berdiam diri. Siksaan berat buatku yang cerewet dan suka bicara ini, karena tidak ada teman untuk bercanda dan ngobrol
. Dengan cara ini memang lebih mengena buatku, memberiku waktu untuk berpikir dan instropeksi diri.
*************************
Tulisan ini diikutsertakan untuk meramaikan ultah Cambai. Disetor pas the last day hihi.