Jumat, 25 Januari 2013

Si Bebe Sumber Galau

Koooyooo ngenee rasaneee *nyanyi lagu Jowo #muka galau

Gadget yang bernama handphone memang satu-satunya yang kumiliki, hape jadul yang setia menemani. Bukannya karena medit mlirit sehingga aku tidak segera menggantinya dengan hape baru (padahal emang bokek), tapi memang merasa belum butuh banget sih. Selama hape jadul bisa buat konek internet, udah cukup.

Seiring dengan berjalannya waktu *tsaaah, ada keinginan untuk kembali eksis jualan online, ditambah lagi dorongan faktor kepepet juga sih. Dan untuk melicinkan rencana tersebut, aku membutuhkan sarana, minimal ya hape yang memadai untuk upload foto-foto barang dagangan dan mempromosikannya di sosmed.

Sebenarnya, bebe adalah pilihan yang umum ya. Melalui BBM dan grupnya, oya bisa whatsapp-an juga, kita bisa dengan mudah mempromosikan dagangan, bisa eksis juga di sosmed yang rame seperti FB dan Twiter. Bisa kirim-kirim gambar juga ke supplier barang misalkan mau jualan sistem dropship.Tapi, kurang sreg sama si bebe ini. Konon, suka nge-hang dan dari banyak cerita teman sih sering "sakit" bebenya dan harus dibawa ke "dokter". Males banget ngebayanginnya, kurang nyaman.

Banyak teman-teman dumay yang selama ini sudah eksis dagang online menyarankan si bebe. Bahkan teman-teman bukan seller juga menyarankan hal yang sama. Sayang, sampai sekarang, dana yang seharusnya digunakan untuk modal membeli bebe harus dialihkan terlebih dahulu ke hal lain yang jauh lebih penting.

Tidak disangka, seorang sahabat menawarkan bebe jadulnya, model lawas yang dibelinya sekitar tahun 2010, si Javelin. Dia bercerita bahwa si bebe tersebut sudah lama nganggur, tidak ada yang menggunakannya. Istrinya tidak suka ber-bebe-ria dan anaknya pun lebih memilih si Android. Heem, lantas aku pun mengiyakan tawarannya itu. Si Javelin ini harga sekennya di pasaran sekitar Rp. 950.000,- ya, namun aku hanya perlu membayarnya dengan harga teman saja :D.

Nah, hari Rabu minggu lalu, si bebe sudah ada di genggaman, diantarkan oleh salah satu OB kantornya sahabatku itu. Langsung saja, aku asyik bercengkrama dengan si bebe yang sudah sekalian di up grade ke OS 5 ini, sehingga memungkinkanku untuk bisa ber-whatsapp-an juga. Kali pertama utak-atik bebe, membuat gelisah juga, langsung galau karena bebenya kurang mau bekerja sama, atau akunya yang belum terbiasa ya? Sempat mati soalnya, ternyata batrenya habis, aku ga sabar sih, ga ngecek dulu. Malamnya udah bisa dipakai sih, udah mulai ribut BBM-an, tapi kok terus nge-hang yak, duh. Ga bisa diapa-apain, dipencet-pencet juga ga ngefek.

Galauku berangsur hilang, saat seharian besoknya si bebe cukup lancar bisa dipakai. Meski, ternyata tetap sempat ngambek lagi sih. Nah, pas pulang kantor, baterainya sudah low, minta dicolok, sayang sudah tidak sempat lagi. Sesampainya di rumah, si bebe tetap ngambek, tidak bisa dipergunakan meski bisa dicharge baterainya, hiks. Ya seperti yang sebelumnya, nyala sih iya, tapi dipencet-pencet tetap tidak bereaksi, duuuh. Sahabatku sampai heran dan merasa tidak enak hati, karena sebelumnya si bebe baik-baik saja kok, tidak rewel. Heemm...apa nih bebe ngikutin pemiliknya ya? Diriku yang mudah galau geje dan suka ngambek ini? Hahaha...entahlah.

Sampai hari ini, si bebe sudah masuk tempat servis dua kali. Katanya sih keypadnya yang eror, sudah diganti baru, bebe seharian bisa dipake, tapi sorenya ga bisa lagi. Yasud masuk diservis lagi, nanti malam pulang kantor baru mau diambil. Semoga lancar jaya bisa dipergunakan lah ya...Aamiin.

Read More

Senin, 21 Januari 2013

Rahasia Mengerjakan Pekerjaan Domestik Dengan Masa Depan

Repost dari Fan Page nya Darwis Tere Liye

**Rahasia mengepel, mencuci, dll dengan masa depan Anda

Tulisan ini untuk main-main saja, tidak serius–saya nulisnya saja sambil cengar-cengir, tidak pakai landasan ilmiah apalagi hingga riset lama.
Nah, ditulis, agar banyak orang realized, menyadari begitu beragamnya pekerjaan rumah yang boleh jadi kita tinggal terima beres saja.
Semoga dengan membaca tulisan ini, jadi ngeh, kalau semua pekerjaan rumah itu penting dan pantas diapresiasi.
Kabar baiknya, karena saya tidak suka menggurui orang lain, memaksa kalian, catatan akan saya tulis dengan pendekatan berbeda.

Topik tulisan ini adalah: jika kita sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan sebuah pekerjaan rumah, maka kelak, kita akan jadi pribadi seperti apa?

1. Mencuci piring
–Kalau dia cewek, maka kelak saat tumbuh besar, dia akan jadi gadis yang anggun.
Anak cewek usia 5-6 tahun, terampil mencuci piring, mulai dari membuang sisa makanan, menyiramnya dengan air, disabun, dibasuh, lantas mengeringkannya, disusun di rak piring, itu simbol betapa anggunnya kelak saat dia menjadi wanita dewasa. Kalau dia cowok, maka kelak akan jadi pemuda yang penyabar. Mencuci piring itu pekerjaan yang butuh kesungguhan bukan? Orang2 habis makan tinggal pergi, eh kita disuruh cuci piringnya. Maka, para cowok yg sejak kecil terbiasa disuruh mencuci piring, adalah laki-laki yang pantas dipertimbangkan sebagai calon suami.
Dia type suami yang penyabar.

2. Mencuci dan menyetrika pakaian
–Berlaku untuk dua-duanya, cowok dan cewek. Anak-anak yang sejak kecil dibiasakan bertanggungjawab mencuci dan menyetrika pakaian sendiri, atau bahkan mencuci pakaian seluruh keluarga, akan tumbuh jadi anak yang disiplin dan paham tentang pengorbanan. Tidak mudah loh
mencuci pakaian sendiri. Banyak yang suka ditumpuk2 dulu pakaiannya, kelupaan direndam, sampai bau, maka melihat anak-anak yang sejak kecil sudah terampil mencuci pakaian, itu sama saja dengan melihat calon pemuda-pemudi masa depan yang tangguh. Apalagi menyetrika, itu menghabiskan banyak waktu, belum lagi hanya untuk tahu, disetrika rapi-rapi nanti-nanti juga lusuh lagi saat dipakai. Bagaimana kalau anak2nya bahkan semangat mau mencuci baju-baju tetangga? teman2nya? Kalau yang ini, bisa dipastikan, bakal sukses besar kalau dibuatkan bisnis laundry.

3. Menyapu dan mengepel rumah
–Kalau cewek, ini jelas akan tumbuh jadi gadis yang gesit dan cekatan. Kalau cowok, saat dewasa nanti akan tumbuh jadi pemuda yang bisa diandalkan, semua pekerjaan yang diberikan padanya akan beres. Nah, mau cewek atau cowok, anak-anak yang sejak kecil dibiasakan menyapu dan mengepel rumah, pasti akan tumbuh jadi anak yang cerdas, memakai logikanya dan sistematis. Kalian tahu, lulusan sarjana sekalipun, kalau tidak pernah mengepel lantai, maka dia akan kagok, dan lupa logika
bahwa ngepel itu harus mundur. Logika, bukan?

4. Memasak
– Wuah, anak2 cowok yang sejak kecil dibiasakan masak, besok lusa akan punya istri cantik jelita. Nah, ibu-bapak, kalau mau punya menantu cantik, anak bujangnya diajari masak, ya. Kalaupun ternyata rumus ini gagal–dan sy jelas ngarang saja, setidaknya di rumah akan ada koki kecil yang bisa diandalkan. Semua wanita suka dengan cowok yg pandai masak. Sementara kalau anak cewek yang dibiasakan masak sejak kecil, sama, besok lusa juga akan punya suami yang tampannya pol, plus baik hati. Ditambah bonus, disayang anak2nya.Jadi membiasakan anak-anak masak sejak kecil, adalah strategi paling mudah untuk memperbaiki keturunan.

5. Menyikat kamar mandi
–Bukan main, kalau dia cowok, maka sungguh beruntung Bapak/Ibu yg punya anak demikian. Kelak kalau sudah besar, dia berbakat jadi pemimpin semacam gubernur DKI Jakarta yg rendah hati dan suka mendatangi orang2 kecil itu. Tanya saja sama beliau, waktu kecil pasti rajin menyikat kamar mandi. Nah, kalau dia cewek, dia akan tumbuh jd ibu yang sayang dgn anak2nya, menjaga keluarganya, dan bisa selalu menjaga amanah.
Apa hubungannya menyikat kamar mandi dgn hal2 tersebut? Cobalah menyikat kamar mandi, toilet, dsbgnya, maka akan paham sendiri. Ilmu ini hanya bisa dipahami jika dipraktekkan. Kurang lebih demikian. Maka adik2 remaja atau juga orang2 dewasa di page ini, bersyukurlah selalu jika keluarga kita berkecukupan dan kita tdk perlu melakukan hal ini semua–sebab ada yg sudah membereskannya. Tapi se kaya apapun keluarga kita, se makmur apapun orang tua kita, kita selalu bisa memilih utk bisa bekerja di rumah, mengurus pekerjaan rumah. Jangan sebaliknya, sudah orang tuanya ngos-ngosan cari nafkah, kita susaaaahnya minta ampun disuruh ngepel. Lebih sering ribut minta pulsa biar bisa
facebookan, internetan, dan itu tuh, lebih asyik menghabiskan waktu baca tulisan2 di page tere-liye.

------------------

Bisa haha hihi juga bacanya.
 Inget jaman dulu ga biasa kerjain pekerjaan domestik kaya gitu. Nyuci baju sendiri aja baru ngejalanin pas SMA, itu juga jarang.  Kalau nyuci piring sih masih lumayan sering, malah itu pekerjaan yang akan kupilih daripada mengepel lantai dan mencuci baju haha. Memasak? Ampuun, aku doyan banget nyicip dan makan euuy, untung syukur alhamdulillah misua udah paham banget, kata dia sih mending aku ga masak deh, daripada dapur kotor berantakan, hahaha *paraaah. Alhasil, tumpukan resep makin meniggi, belajar masak juga hanya dalam khayalan :p.

Hem, jadi inget sama dua anak cewek di rumah. Harus bisa mendidik mereka lebih baik, lebih rajin, lebih mandiri, daripada jaman aku kecil dulu. Biar nanti dewasanya disayang suami dan mertua ^_^
Read More

Jumat, 18 Januari 2013

Cinta Tanpa Pamrih?

Cinta tanpa pamrih. Banyak yang bilang, cinta seperti itu ada pada cinta ibu kepada anaknya. Benarkah? Apakah memang sudah tepat dan sesuai porsi maupun peletakannya?
Sebagai ibu dari tiga orang anak, saya akan memberikan pengakuan.

Ya, saya amat sangat mencintai mereka. Saya siap mempertaruhkan nyawa, setiap kali melahirkan satu demi satu anak saya. Bukankah itu sudah cukup menjadi bukti bahwa cinta saya tanpa pamrih?
Siang penuh lelah dan malam tanpa jengah, saya jaga dan rawat mereka, dari bayi merah mungil sampai menjelma menjadi bocah. Menyusui setiap saat mereka menginginkannya, mengganti popoknya entah yang kesekian kalinya dalam sehari, menggendong dan meninabobokannya di setiap malam yang panjang, dan betapa banyak yang tak kan bisa disebutkan satu persatu apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu. Bukankah semua itu sudah cukup menjadi bukti akan cinta saya yang tanpa pamrih?

Hingga, lalu saya sadari, bahwa mungkin saya salah selama ini.
Tak ada raut wajah kecewa, sebal, apalagi marah, ketika mereka berulah, dulu. Ya, itu dulu. Kala mereka masih 100% tergantung kepada saya, ibunya. Kala mereka murni 100% di bawah kontrol saya. Kala mereka belum mempunyai kemandirian untuk menyuarakan keinginan mereka dengan kuat.

Cinta tanpa pamrih, masihkah itu menjadi jargon, ketika anak sudah pandai memilih dan saya, ibunya, malah berdalih? Ah, banyak peristiwa berkelebat dalam putaran memori saya. Terbayang Syifa dan juga Farah. Raut muka kecewa mereka, sebal, marah, tapi juga takut. Tangisan keras yang membuat emosi makin tersulut, atau terkadang hanya sesenggukan halus di sela isak tangisnya. Aaah... :( Dan berada di pihak manakah saya? Sebagai kawan ataukah lawan? Sebagai motivator ataukah komentator, bahkan kritikus? Sebagai ibu ataukah bos?

Ternyata tak mudah mempertahankan cinta tanpa pamrih itu, apalagi ketika saya mulai berharap dan meminta balasan, entah apa pun sebutannya, kepada mereka, anak-anak saya. Sudah umum menjadi do'a semua orang tua, ingin agar anaknya menjadi anak yang sholeh/sholehah, berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan bermanfaat bagi orang lain. Adanya nilai-nilai umum di masyarakat yang seolah menuntut untuk dipenuhi, tanpa sadar telah meracuni pikiran saya sebagai ibu. Sebut saja, anak harus pandai di sekolah, anak harus rajin, mandiri, bisa membaca menulis di usia dini, tidak cengeng, pemberani alias bukan penakut, anak penurut, dan lain-lain.  Begitu banyak label yang seolah dipaksakan harus dipenuhi oleh anak-anak kita. Dan ketika pencapaian anak tidak sesuai harapan, apa yang terjadi? Kecewa, marah, sebal, uring-uringan, atau ngomel-ngomelkah kita? Sepertinya, meski saya berusaha untuk tidak melakukannya, saya sudah pernah mengekspresikan semuanya itu, di depan maupun di belakang anak-anak saya.

Seringkali saya melupakan satu hal penting, yaitu proses. Proses amat sangat panjang dan tidak instan dalam mendidik anak. Proses yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Proses yang berpeluh dan tak boleh jenuh. Dan faktor utama pendukungnya adalah keteladanan. Yup, keteladanan dari orang tua bagi anak-anaknya. Apa yang kita inginkan bagi mereka, tentu saja yang terbaik bagi mereka (ingat, menurut kita ya, jadi tidak semua pilihan kita adalah baik bagi mereka). Apakah kita sudah mencontohkannya?

Seharusnya anak diajak dan dibiasakan, bukannya hanya menyuruh anak, untuk sholat misalnya. Seharusnya diajak muroja'ah rutin bersama-sama, tidak hanya diminta untuk hafal sekian surah, dan hanya menagih saja. Akan menjadi konflik, ketika orang tua melewatkan proses. Atau...jangan-jangan orang tua hanya bisa menuntut anak-anaknya tanpa mereka melakukan hal yang sama? Kalau seperti itu, berarti kita sudah menjadi orang tua yg melakukan kecurangan dan juga menjadi diktator. Dan kemanakah cinta tanpa pamrih itu?

Betapa saya masih saja mudah lupa, bahwa anak-anak adalah bukan hak milik saya. Mereka adalah titipan Tuhan. Mereka memiliki dirinya sendiri, jalan hidup dan takdirnya sendiri. Sebagai orang tua, kita tidak bisa selamanya campur tangan dan memaksakan semua hal harus sesuai dengan keinginan kita. Tugas orang tua hanyalah merawat, mendidik, dan yang terpenting, memberi teladan yang baik. Semua itu sebagai ikhtiar orang tua dalam proses perkembangan anak agar mereka bisa survive menuju gerbang kemandirian anti galau. Menjadi generasi yang tangguh dengan modal iman dan takwa serta kecerdasan emosional yang stabil.


*catatan tengah malam
Read More

Jumat, 11 Januari 2013

Renungan

Hidup itu keras. Hidup itu penuh perjuangan. Hidup itu penuh intrik dan lika-liku.
Dan itu semua tidak akan terasa, kalau kita masih selalu berada di dalam zona nyaman.
Dataaarrrr. Adem ayem di dalam sanctuary yang seolah aman.

Someday, kita akan terkaget-kaget, ketika tiba-tiba keluar dari zona nyaman kita.
Katakanlah, musibah, ujian, cobaan yang tanpa permisi datang menerpa.
Begitu mendadak, unpredictable, mak bendunduk, ujug-ujug menimpa hidup kita.
Dan kita seolah baru tersadar, terpukul, lebih dari tersentil, shock.
Di saat seperti itulah, mau tak mau kita berhenti sejenak, tarik nafas panjaaang dan memulai perjalanan imagi sendiri untuk menyelami diri kembali, instropeksi.

Bersegera melakukan tindakan perbaikan, agar bisa meminimalisir kerugian. Kalaupun kerugian materi bukanlah hal yang terlalu dipermasalahkan, yang terpenting sebenarnya adalah mental kita. Bagaimana agar bisa bangkit dan tidak merasa down.
Bersyukurlah, kala akhirnya kita bisa menemukan hikmah yang terserak, memaknainya dalam, dan bisa membuat kita melangkah lagi, meski tersaruk dan pernah terpuruk.
Jangan pernah berputus asa, be positive all the time, karena Allah melarang kita untuk berputus asa akan rahmatNya.

 


Read More