Rabu, 17 September 2014

Haji



Pasti sudah tahu lah ya film Emak Ingin Naik Haji dan Tukang Bubur Naik Haji. Kita melihat kegigihan seorang hamba yang kalau dilihat dari segi ekonomi dan materi sangat tidak mungkin untuk bisa pergi haji dengan biaya yang tidak sedikit itu. Namun, dengan ijinNya mereka bisa pergi haji.

Kali ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada denyar di dada kala mendengar kabar teman-temanku pergi haji. Ada sesak menyeruak saat melihat tayangan pemberangkatan haji di TV. Haru, ikut bahagia, bangga, lalu sedih, sambil bertanya, "Aku kapan?"

Seorang teman pernah berkata, "Bisa jadi kita termasuk orang yang kufur nikmat, karena mempunyai keluasan rejeki tapi tidak gigih  digunakan untuk pergi haji." Mak jleb lah ya. Lalu ada kisah seorang teman yang lebih memilih menjual rumah satu2nya demi ongkos haji dan sepulang haji keluarganya pun mengontrak saja. Alhamdulillah beberapa tahun berikutnya, mereka sudah bisa punya rumah lagi, meski dengan KPR. Ada juga teman yang setelah melunasi biaya haji, uang yang dimilikinya hanya tinggal Rp82ribu saja. Gamang juga dia saat itu, tapi tetap tawakkal dan ikhtiar. Ah, pasti banyak cerita perjuangan dan pengorbanan semacam ini yang juga telah kau dengar kan sobat?

Aku tak mau berpikir bahwa aku belum berkesempatan pergi haji karena aku belum pantas. Tidak, bukan itu. Toh, banyak juga pejabat ga beres yang bisa sampai di Mekah. Bukan tentang seberapa baik atau buruk kelakuan kita sebagai tolok ukur syarat pergi haji. Mungkin, Allah ingin mengetahui seberapa besar usaha kita, seberapa gigih kita memancangkan tekad, seberapa tinggi ketawakkalan kita padaNya. Dan pada akhirnya Allah akan memudahkan segalanya, menyederhanakan prosesnya, dan mengundang kita ke rumahNya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar