Jumat, 18 Januari 2013

Cinta Tanpa Pamrih?

Cinta tanpa pamrih. Banyak yang bilang, cinta seperti itu ada pada cinta ibu kepada anaknya. Benarkah? Apakah memang sudah tepat dan sesuai porsi maupun peletakannya?
Sebagai ibu dari tiga orang anak, saya akan memberikan pengakuan.

Ya, saya amat sangat mencintai mereka. Saya siap mempertaruhkan nyawa, setiap kali melahirkan satu demi satu anak saya. Bukankah itu sudah cukup menjadi bukti bahwa cinta saya tanpa pamrih?
Siang penuh lelah dan malam tanpa jengah, saya jaga dan rawat mereka, dari bayi merah mungil sampai menjelma menjadi bocah. Menyusui setiap saat mereka menginginkannya, mengganti popoknya entah yang kesekian kalinya dalam sehari, menggendong dan meninabobokannya di setiap malam yang panjang, dan betapa banyak yang tak kan bisa disebutkan satu persatu apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu. Bukankah semua itu sudah cukup menjadi bukti akan cinta saya yang tanpa pamrih?

Hingga, lalu saya sadari, bahwa mungkin saya salah selama ini.
Tak ada raut wajah kecewa, sebal, apalagi marah, ketika mereka berulah, dulu. Ya, itu dulu. Kala mereka masih 100% tergantung kepada saya, ibunya. Kala mereka murni 100% di bawah kontrol saya. Kala mereka belum mempunyai kemandirian untuk menyuarakan keinginan mereka dengan kuat.

Cinta tanpa pamrih, masihkah itu menjadi jargon, ketika anak sudah pandai memilih dan saya, ibunya, malah berdalih? Ah, banyak peristiwa berkelebat dalam putaran memori saya. Terbayang Syifa dan juga Farah. Raut muka kecewa mereka, sebal, marah, tapi juga takut. Tangisan keras yang membuat emosi makin tersulut, atau terkadang hanya sesenggukan halus di sela isak tangisnya. Aaah... :( Dan berada di pihak manakah saya? Sebagai kawan ataukah lawan? Sebagai motivator ataukah komentator, bahkan kritikus? Sebagai ibu ataukah bos?

Ternyata tak mudah mempertahankan cinta tanpa pamrih itu, apalagi ketika saya mulai berharap dan meminta balasan, entah apa pun sebutannya, kepada mereka, anak-anak saya. Sudah umum menjadi do'a semua orang tua, ingin agar anaknya menjadi anak yang sholeh/sholehah, berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan bermanfaat bagi orang lain. Adanya nilai-nilai umum di masyarakat yang seolah menuntut untuk dipenuhi, tanpa sadar telah meracuni pikiran saya sebagai ibu. Sebut saja, anak harus pandai di sekolah, anak harus rajin, mandiri, bisa membaca menulis di usia dini, tidak cengeng, pemberani alias bukan penakut, anak penurut, dan lain-lain.  Begitu banyak label yang seolah dipaksakan harus dipenuhi oleh anak-anak kita. Dan ketika pencapaian anak tidak sesuai harapan, apa yang terjadi? Kecewa, marah, sebal, uring-uringan, atau ngomel-ngomelkah kita? Sepertinya, meski saya berusaha untuk tidak melakukannya, saya sudah pernah mengekspresikan semuanya itu, di depan maupun di belakang anak-anak saya.

Seringkali saya melupakan satu hal penting, yaitu proses. Proses amat sangat panjang dan tidak instan dalam mendidik anak. Proses yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Proses yang berpeluh dan tak boleh jenuh. Dan faktor utama pendukungnya adalah keteladanan. Yup, keteladanan dari orang tua bagi anak-anaknya. Apa yang kita inginkan bagi mereka, tentu saja yang terbaik bagi mereka (ingat, menurut kita ya, jadi tidak semua pilihan kita adalah baik bagi mereka). Apakah kita sudah mencontohkannya?

Seharusnya anak diajak dan dibiasakan, bukannya hanya menyuruh anak, untuk sholat misalnya. Seharusnya diajak muroja'ah rutin bersama-sama, tidak hanya diminta untuk hafal sekian surah, dan hanya menagih saja. Akan menjadi konflik, ketika orang tua melewatkan proses. Atau...jangan-jangan orang tua hanya bisa menuntut anak-anaknya tanpa mereka melakukan hal yang sama? Kalau seperti itu, berarti kita sudah menjadi orang tua yg melakukan kecurangan dan juga menjadi diktator. Dan kemanakah cinta tanpa pamrih itu?

Betapa saya masih saja mudah lupa, bahwa anak-anak adalah bukan hak milik saya. Mereka adalah titipan Tuhan. Mereka memiliki dirinya sendiri, jalan hidup dan takdirnya sendiri. Sebagai orang tua, kita tidak bisa selamanya campur tangan dan memaksakan semua hal harus sesuai dengan keinginan kita. Tugas orang tua hanyalah merawat, mendidik, dan yang terpenting, memberi teladan yang baik. Semua itu sebagai ikhtiar orang tua dalam proses perkembangan anak agar mereka bisa survive menuju gerbang kemandirian anti galau. Menjadi generasi yang tangguh dengan modal iman dan takwa serta kecerdasan emosional yang stabil.


*catatan tengah malam

10 komentar:

  1. pertamax....
    *rung diwoco komen sik :P

    BalasHapus
  2. Salut nak, apik tulisane iki :-)

    Selamat menjalani peran sebagai ibu sejati, yang tidak hanya pandai menuntut tapi piawai menuntun mereka menjadi manusia yang berguna dan berakhlak mulia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun bu... :)

      InsyaAllah meski tertatih tapi terus berjalan bahkan mencoba tuk berlari bu :)

      Hapus
  3. Kita hanya perlu memperkenalkan, jalan mana yg baik atau buruk dan memastikan dia memilih jalan yg baik itu ;)

    Pagi2 udah baca bginian, hhehehe jd pengen cepet2 deh :p ... makasih mbak, ditunggu kunjungan baliknya yah diMakanan sehat ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener, membimbing bukan memaksakan. kalaupun harus dipaksakan, dengan cara yang halus dan tersamar, jadi anak tidak merasa ditekan *bisa ga ya? :)

      oke, thx mampir. i'll follow back

      Hapus
  4. wis moco tik uapik..... *sambil ngaca

    BalasHapus
  5. Wis ayu Ci...ojo kakean ngoco, pecah ngko haghag :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nek pecah gek ndang disaponi ndak kepidak bocah-bocah ayu kuwi, mbebayani.....

      *takseblaksimboke*

      Hapus
    2. hihihi injih Buuun, kulo sapu
      *mlipirambilsapu

      Hapus