Selasa, 10 Desember 2013

Aku vs Aku

Manusia terkenal dengan keakuannya, fitrahnya menjadi makhluk yang lemah, dalam hal ini salah satunya adalah keegoisan yang melekat pada dirinya. Seringkali kita berbenturan dengan orang lain karena satu hal ini. Keakuan si A vs keakuan si B. Keegoisan si A vs keegoisan si B. Tidak akan pernah selesai kisahnya seperti sinetron kejar tayang. Hanya bila ada salah satu pihak yang mau mengalah, rendah hati, dan lebih bijaksana lah maka masalah bisa diselesaikan dengan lebih baik, tanpa pertumpahan darah dan air mata.

Dan ternyata aku baru tersadar, selama ini betapa dominan keakuanku mencuat dari dalam diri. Memikirkan banyak hal selalu dari kacamataku, melihat berbagai masalah dari cara berpikirku, berpraduga dari  prasangkaanku, dan banyak hal lainnya yang tanpa sadar makin membuat masalah rumit. Minimnya berempati dengan cara pandang dan cara pikir orang lain akan membutakan diri dan bisa menyesatkan. Seolah duniaku runtuh, seolah akulah seorang korban, seolah akulah yang didzalimi, seolah akulah yang benar. Kenyataannya? Belum tentu!

Katakanlah apa yang kuyakini memang benar adanya. Seharusnya itu tidak membuatku makin angkuh mendongakkan kepala.Seharusnya itu tidak membuatku makin menyerang lawanku berbicara. Seharusnya itu tidak membuatku meremehkannya. Seharusnya itu tidak membuatku membencinya. Seharusnya itu tidak membuatku merepet seperti petasan kecil yang berderet-deret dan menyala berurutan. Dibutuhkan kedewasaan untuk bisa bijaksana dan rendah hati. Mungkin lebih dibutuhkan juga pemahaman akan iman dan sabar. Tidak semua orang bisa melakukannya, bukan?

Dan ketika pada akhirnya aku sadar bahwa sudah waktunya untuk merubah cara pandang, merubah posisi duduk kita, ah ternyata susah-susah gampang. Ah tidak, mungkin gampang-gampang susah ya? Cukup mudah ketika kita bisa sedikit tahu jalan berpikir orang lain. Ya, tidak sesulit itu menempatkan kaki kita di sepatunya. Tapi, untuk lantas memahaminya dan mencocokkannya dengan pemahaman kita, itu lain cerita. Bila sepatu orang lain kekecilan atau malah kebesaran, tentu kita akan tidak nyaman memakainya, bukan? Justru di sinilah perang antara aku vs aku dimulai. Bagaimana cara kita untuk bisa memahami orang lain, mengerti arti sebenarnya dari keinginan dia dengan meminimalkan keakuanku.

Aku vs aku. Inilah saatnya mengalah, bukan untuk kalah tapi untuk menang. Konsolidasi dengan diri sendiri dulu baru dengan pihak luar. Meski sulit (baiklah ngaku betapa egoisnya aku) tapi bukankah Allah akan membukakan jalan dan membantu kita? Tujuan kita baik, hal yang diperjuangkan pun baik, insyaAllah akan berbuah manis nantinya. Baiklah, semangat, optimis, Bismillah.



4 komentar:

  1. Alhamdulillah kalau kita bisa mengalahkan keegoisan diri kita sendiri ya mbk Tika. Selamat kerja dan melanjutkan kehidupan yang penuh berkah dengan gairah yang indah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. InsyaAllah Bun, masih sedikiiiit berusaha, masih mewek-mewek nahannya hehe. Wah Bun, hidup berkah dengan gairah yang indah, semoga kita tetap bisa merasakannya yaa, dengan puncaknya khusnul khatimah, aamiin.

      Hapus
  2. Dalam buku "Delapan Mata Air Kecemerlangan" Anis Mata membagi "keakuan" itu menjadi tiga: Aku diri, Aku Sosial, dan Aku Ideal. Ketiganya tidak boleh ada yang terlalu dominan... saat bermuhasabah gunakan tiga Aku ini untuk merapikan gelegak hati. Maaf, sekedar share...

    BalasHapus