Senin, 15 September 2014

Another Chapter : Moving (1)

Cerita terakhir tentang pindahan rumah kutulis di bulan Juli 2012 yang lalu. Membacanya membuka sebuah luka lama. Bagaimana tidak, 6 bulan setelah pindahan rumah ke rumah baru milik sendiri, ternyata kami harus balik ngontrak lagi. Rumahku yang itu terpaksa harus kami tinggalkan karena konstruksinya dianggap membahayakan. Sayang, tidak ada file gambar rumah itu sebagai kenang-kenangan. Dulu ketika posting di Multiply, kukira postingan itu bisa menjadi jejak rekam. Sekali lagi sayang, ketika pindahan ke Blogspot, smua file picture tak dapat ikut diselamatkan. Entah ya kalau misua, apa dia menyimpan file foto rumah yang dulu, aku juga tak pernah menanyakannya.

Jadi, cerita berawal ketika kami dengan uang pinjaman bank akan mendirikan rumah. Biasalah, nasib PNS kalau ga ngutang ya ga bakal kuat beli rumah. Saat itu kami mengenal seorang tetangga di lahan calon rumah kami. Dia beserta keluarganya adalah penghuni pertama di lahan kaplingan itu. Menurut ceritanya yang enak didengar dan meyakinkan, dia sudah ahli menjadi kontraktor dan ingin membantu kami untuk bisa segera mempunyai rumah. Dia yang pegang proyek rumah kami, dengan harga miring sebagai bantuan, begitu katanya. Entah bagaimana, saking percayanya suamiku ke dia, kami tidak membuat perjanjian hitam di atas putih. Heloo jaman gini gitu lhooo, tapi ya aku dan suami benar-benar ga ada pikiran negatif ke dia. Sama-sama perantauan, sama-sama wong Jowo, dan dia bilang pengen bantu agar dia bisa segera punya tetangga. Memang sih, di sana sepi deh kalau malam. Tanah seluas itu baru dia yang menempati, rumah dia juga dia sendiri yang bangun dan bagus hasilnya.

Rumah kami jadinya gede banget lho, di atas tanah seluas 150 m2 misua hanya menyisakan sedikit untuk halaman. Kebayang dong luasnya, capeknya kalau nyapu dan ngepel haha. Sekarang dipikir-pikir, mana ada rumah gedong kaya gitu bisa dibangun dengan dana minimalis? Ga mungkin kan, maka jadilah rumahku itu retak di mana-mana, lantai duanya doyong kalau tertiup angin, ngeri kaaaan, horor mak. Penampilan luar rumah pun sudah berantakan, mencong sana-sini, bentuknya ga rapi, mbuh gimana itu tukang-tukang ngerjainnya, ga jelas blas. Dia si tetangga itu bukannya bertanggung jawab, malah sibuk menjawab dengan cara menyalahkan para tukang. Lha kan tukang-tukang itu kerjanya sama dia, lha dia mandornya tho. Intinya dia sama sekali ga ada rasa bersalah atau menyesal, ga ada kata maaf terucap, aseli bikin esmosi aja pokoknya. Akhirnya setelah kami pindah ngontrak lagi, misua memutuskan untuk merubuhkan rumah tersebut. Yap, rata dengan tanah.

Nyesek? Ya iyalaaaaah. Cicilan kami masih bertahun-tahun lamanya, hutang ke selain bank juga menumpuk, sutris lah pasti. Saling menguatkan sajalah aku dan misua. Sambil terus menyemangati diri bahwa ini musibah, cobaan, ujian hidup yang harus kami lewati. Bahwa semua ini adalah bagian dari takdir, bahwa semua ini adalah salah satu puzzle hidup kami yang harus kami susun bersama. Pengalaman memang mahal harganya sodara-sodara, dalam artian yang sebenarnya hehehe. Termasuk tentang masalah hati, memaafkan dia yang sudah berlaku jahat pada kita itu ternyata tak mudah juga.

Setelah jatuh bangun, alhamdulillah kami berhasil memiliki rumah lagi kini. Hutang masih ada lah pasti, semoga Allah lapangkan rizki agar kami bisa segera melunasinya, aamiin. Daaaan, tanggal 25 Agustus kemarin kami resmi pindahan rumah (lagi). Ada rasa lega juga melihat kami sekeluarga sudah bisa menempati rumah yang kami perjuangkan, meski ketar-ketir juga kalau ingat cicilan utang hoho. Foto-foto rumah ntar mau diposting juga ah, untuk kenang-kenangan :)

2 komentar:

  1. Saya samar-samar masih ingat dengan foto rumah yang dipasang di Multiply dulu.

    Semoga ini perjuangan yang berakhir manis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, pak Iwan dulu kan komen juga hehe. Aamiin, semoga pak :)

      Hapus